Connect with us

Hukum International

Pilar Utama dalam Hubungan Antarnegara

Published

on

Hubungan antarnegara merupakan aspek penting dalam dinamika global yang kompleks. Dalam konteks ini, terdapat beberapa pilar utama yang menjadi landasan bagi interaksi dan kerjasama antarnegara. Pilar-pilar ini tidak hanya mencakup aspek hukum dan diplomasi, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari hubungan internasional. Artikel ini akan membahas pilar-pilar utama dalam hubungan antarnegara, termasuk hukum internasional, diplomasi, dan kerjasama multilateral, serta bagaimana masing-masing pilar berkontribusi terhadap stabilitas dan perdamaian dunia.

1. Hukum Internasional

Hukum internasional adalah salah satu pilar utama dalam hubungan antarnegara. Hukum ini terdiri dari aturan dan norma yang mengatur perilaku negara-negara di arena internasional. Sumber utama hukum internasional meliputi perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara. Perjanjian internasional, atau traktat, menjadi dasar bagi banyak kerjasama antarnegara, seperti perjanjian perdagangan, perjanjian lingkungan, dan perjanjian keamanan.Hukum internasional berfungsi untuk menciptakan kerangka kerja yang jelas bagi negara-negara dalam berinteraksi. Misalnya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengatur hak dan kewajiban negara-negara terkait penggunaan sumber daya laut dan perlindungan lingkungan maritim. Dengan adanya hukum internasional, negara-negara diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara damai dan menghindari konflik yang merugikan.

2. Diplomasi

Diplomasi adalah pilar lain yang sangat penting dalam hubungan antarnegara. Melalui diplomasi, negara-negara dapat berkomunikasi, bernegosiasi, dan membangun hubungan yang saling menguntungkan. Diplomasi dapat dilakukan melalui berbagai saluran, termasuk pertemuan bilateral, konferensi internasional, dan organisasi multilateral.Diplomasi juga mencakup berbagai bentuk, seperti diplomasi preventif, yang bertujuan untuk mencegah konflik sebelum terjadi, dan diplomasi publik, yang berfokus pada membangun citra positif negara di mata dunia. Contoh nyata dari diplomasi yang berhasil adalah perjanjian damai yang dicapai melalui negosiasi antara negara-negara yang terlibat dalam konflik, seperti perjanjian damai Oslo antara Israel dan Palestina.

3. Kerjasama Multilateral

Kerjasama multilateral merupakan pilar ketiga yang mendukung hubungan antarnegara. Dalam kerjasama ini, beberapa negara bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sering kali melalui organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, atau Uni Eropa. Kerjasama multilateral memungkinkan negara-negara untuk mengatasi isu-isu global yang tidak dapat diselesaikan secara unilateral, seperti perubahan iklim, terorisme, dan perdagangan internasional. Melalui kerjasama multilateral, negara-negara dapat berbagi sumber daya, pengetahuan, dan teknologi untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya, dalam konteks perubahan iklim, perjanjian Paris yang ditandatangani oleh hampir semua negara di dunia menunjukkan komitmen kolektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi dampak perubahan iklim.

4. Tantangan dalam Hubungan Antarnegara

Meskipun pilar-pilar ini memberikan kerangka kerja yang kuat untuk hubungan antarnegara, terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam sistem internasional. Negara-negara besar sering kali memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, sementara negara-negara kecil mungkin terpinggirkan.Selain itu, munculnya nasionalisme dan proteksionisme di beberapa negara dapat mengancam kerjasama internasional. Ketika negara-negara lebih fokus pada kepentingan nasional mereka, hal ini dapat menghambat upaya kolektif untuk mengatasi isu-isu global.

Continue Reading

Hukum International

Imunitas Diplomatik : Perlindungan Batasan Dan Kontroversi Dalam Hubungan Internasional

Published

on

Imunitas diplomatik adalah salah satu prinsip paling mendasar dalam hukum internasional yang memberikan perlindungan khusus kepada diplomat untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari negara tuan rumah. Konsep ini diatur secara rinci dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, yang menetapkan kerangka hukum dan norma internasional bagi para diplomat.

Namun, di balik fungsi pentingnya sebagai pilar stabilitas dalam hubungan internasional, imunitas diplomatik juga menimbulkan berbagai perdebatan. Kasus-kasus penyalahgunaan status diplomatik, ketegangan antarnegara, dan batasan hukum terhadap imunitas ini menjadi isu yang terus berkembang.

Artikel ini akan membahas pengertian, sejarah, cakupan, batasan, serta kontroversi seputar imunitas diplomatik, termasuk tantangan dalam menyeimbangkan perlindungan diplomat dengan keadilan hukum.

Pengertian dan Sejarah Imunitas Diplomatik

Imunitas diplomatik merujuk pada hak istimewa yang diberikan kepada diplomat dan perwakilan negara asing, yang memungkinkan mereka menjalankan tugasnya tanpa ancaman penangkapan, penahanan, atau campur tangan hukum oleh negara tuan rumah. Tujuannya adalah untuk memastikan komunikasi yang efektif dan hubungan antarnegara yang harmonis.

1. Sejarah Singkat

Prinsip perlindungan terhadap utusan telah ada sejak zaman kuno. Dalam peradaban Yunani dan Romawi, utusan dianggap sakral dan dilindungi dari serangan atau gangguan selama menjalankan tugas diplomatik.

Perkembangan modern imunitas diplomatik mulai terbentuk pada abad ke-17 melalui Konvensi Westfalen (1648), yang menegaskan prinsip kedaulatan negara. Kemudian, Konvensi Wina tahun 1961 mengkodifikasi aturan-aturan ini dalam hukum internasional.

2. Dasar Hukum

Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961 adalah kerangka hukum utama yang mengatur imunitas diplomatik. Pasal-pasal dalam konvensi ini menjelaskan hak dan kewajiban diplomat serta negara tuan rumah, termasuk konsep non-invasi dan kebebasan bergerak diplomat.

Cakupan Imunitas Diplomatik

Imunitas diplomatik mencakup beberapa hak istimewa yang dirancang untuk melindungi diplomat dan memfasilitasi tugas mereka. Berikut adalah cakupan utamanya:

1. Imunitas dari Penuntutan Hukum

Diplomat tidak dapat dituntut secara pidana, perdata, atau administratif di negara tuan rumah. Ini berarti mereka kebal terhadap proses hukum selama masa tugas mereka.

2. Kebebasan Komunikasi

Diplomat memiliki hak untuk berkomunikasi secara bebas dengan pemerintahnya tanpa gangguan. Surat menyurat, dokumen, dan barang diplomatik dilindungi dari inspeksi atau penyitaan.

3. Perlindungan Terhadap Tempat Tinggal dan Kantor Diplomatik

Kediaman diplomat, kantor kedutaan, dan kendaraan diplomatik tidak dapat dimasuki tanpa izin. Tempat-tempat ini dianggap sebagai wilayah kedaulatan negara pengirim.

4. Bebas dari Pajak

Diplomat dibebaskan dari berbagai pajak lokal, termasuk pajak properti dan penghasilan yang diperoleh sebagai bagian dari tugas diplomatiknya.

5. Kekebalan bagi Keluarga

Anggota keluarga diplomat yang tinggal bersama mereka juga menikmati imunitas yang sama, meskipun dalam beberapa kasus dengan cakupan terbatas.

Batasan Imunitas Diplomatik

Meskipun diplomat memiliki perlindungan yang luas, imunitas mereka tidak bersifat mutlak. Ada beberapa batasan penting:

1. Fungsi Diplomatik

Imunitas hanya berlaku untuk tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari tugas resmi seorang diplomat. Tindakan di luar tugas diplomatik tidak selalu dilindungi.

2. Pelanggaran Berat

Dalam beberapa kasus, negara pengirim dapat mencabut imunitas diplomatik jika diplomat terlibat dalam pelanggaran berat, seperti kejahatan serius atau pelanggaran hak asasi manusia.

3. Pengakhiran Imunitas

Imunitas diplomatik berakhir ketika tugas seorang diplomat selesai, kecuali untuk tindakan yang dilakukan selama masa jabatan mereka.

4. Tanggung Jawab Negara Pengirim

Negara pengirim memiliki tanggung jawab untuk memastikan diplomat mereka mematuhi hukum dan norma internasional. Negara tuan rumah juga dapat meminta pengusiran seorang diplomat jika terjadi penyalahgunaan imunitas.

Kontroversi dalam Imunitas Diplomatik

Meskipun berperan penting dalam menjaga stabilitas hubungan internasional, imunitas diplomatik sering menjadi subjek kontroversi, terutama dalam kasus-kasus berikut:

1. Penyalahgunaan Imunitas

Beberapa diplomat telah menggunakan status diplomatik mereka untuk menghindari konsekuensi hukum atas tindak kejahatan, seperti pencurian, penggelapan pajak, atau bahkan kekerasan. Kasus terkenal termasuk diplomat yang terlibat dalam kasus tabrak lari atau penyelundupan.

2. Konflik Kepentingan

Imunitas diplomatik dapat menimbulkan ketegangan antara kebutuhan akan perlindungan diplomat dan tuntutan keadilan bagi korban pelanggaran hukum yang dilakukan oleh diplomat.

3. Ketidakseimbangan Kekuasaan

Negara kecil sering kali merasa tidak memiliki daya tawar yang setara dalam mengelola penyalahgunaan imunitas oleh diplomat dari negara kuat.

4. Kegagalan Diplomatik

Dalam beberapa kasus, penyalahgunaan imunitas dapat merusak hubungan bilateral dan menimbulkan krisis diplomatik yang serius.

Tantangan dalam Meningkatkan Akuntabilitas

Untuk menjaga relevansi dan keadilan dalam penerapan imunitas diplomatik, komunitas internasional menghadapi tantangan besar dalam menciptakan keseimbangan antara perlindungan diplomat dan tanggung jawab hukum. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

1. Reformasi Hukum Internasional

Mengadopsi aturan yang lebih ketat untuk membatasi cakupan imunitas dalam kasus-kasus kriminal serius dapat membantu mencegah penyalahgunaan.

2. Peningkatan Mekanisme Pengawasan

Negara-negara dapat bekerja sama untuk menciptakan mekanisme pengawasan bersama yang memastikan diplomat mematuhi hukum tanpa melanggar hak istimewa mereka.

3. Edukasi dan Pelatihan

Memberikan pelatihan kepada diplomat tentang etika dan tanggung jawab mereka dapat mengurangi risiko penyalahgunaan imunitas.

4. Kolaborasi Antarnegara

Kolaborasi yang lebih erat antara negara pengirim dan negara tuan rumah diperlukan untuk menangani kasus-kasus penyalahgunaan secara adil dan cepat.

Imunitas diplomatik adalah pilar penting dalam hubungan internasional, memberikan perlindungan dan kebebasan yang diperlukan bagi diplomat untuk menjalankan tugas mereka secara efektif. Namun, dengan berbagai kasus penyalahgunaan yang muncul, prinsip ini terus menghadapi tantangan dalam penerapannya.

Untuk memastikan imunitas diplomatik tetap relevan dan adil, diperlukan upaya kolektif dari komunitas internasional untuk meningkatkan akuntabilitas tanpa merusak perlindungan diplomatik. Dengan demikian, prinsip ini dapat terus berfungsi sebagai alat yang efektif dalam membangun dan mempertahankan hubungan internasional yang harmonis.

Continue Reading

Hukum International

Peran Dan Tantangan Hukum Humaniter Internasional Dalam Melindungi Korban Konflik Bersenjata Di Era Modern

Published

on

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sering disebut sebagai “hukum perang,” adalah kerangka hukum yang dirancang untuk mengatur perilaku selama konflik bersenjata dan melindungi mereka yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam pertempuran, seperti warga sipil, petugas medis, dan tawanan perang. Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan manusia selama perang dan memastikan penghormatan terhadap martabat manusia. Namun, dalam era modern yang ditandai dengan konflik kompleks dan ancaman baru, penerapan HHI menghadapi berbagai tantangan.


Pengertian dan Prinsip Dasar Hukum Humaniter Internasional

HHI adalah cabang dari hukum internasional yang mengatur perilaku pihak-pihak dalam konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Prinsip-prinsip dasarnya meliputi:

  1. Perlindungan bagi yang Tidak Terlibat dalam Pertempuran
    Warga sipil, pekerja medis, dan personel kemanusiaan harus dilindungi dari serangan.
  2. Pembatasan terhadap Sarana dan Metode Perang
    Pihak yang berkonflik tidak boleh menggunakan senjata atau metode yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu atau kerusakan lingkungan yang berlebihan.
  3. Penghormatan terhadap Martabat Manusia
    Tawanan perang dan individu yang terluka harus diperlakukan secara manusiawi tanpa diskriminasi.
  4. Non-Disriminasi
    Semua pihak yang terlibat dalam konflik harus memberikan perlakuan yang sama terhadap individu yang dilindungi tanpa membedakan ras, agama, atau latar belakang lainnya.

Peran Hukum Humaniter Internasional

  1. Melindungi Korban Konflik
    HHI memberikan perlindungan kepada individu-individu yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, termasuk warga sipil, anak-anak, dan pengungsi.
  2. Mengatur Perilaku Pihak yang Berkonflik
    HHI menetapkan batasan bagi pihak yang berperang terkait penggunaan senjata dan taktik militer.
  3. Mendorong Akuntabilitas
    HHI menyediakan dasar hukum untuk menuntut pelaku kejahatan perang melalui mekanisme internasional seperti Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).
  4. Mendukung Upaya Kemanusiaan
    HHI memfasilitasi akses organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Internasional untuk memberikan bantuan kepada korban perang.
  5. Menyediakan Kerangka Resolusi Konflik
    Dengan menetapkan aturan yang jelas, HHI membantu mencegah eskalasi konflik dan mendukung upaya mediasi.

Tantangan dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional di Era Modern

1. Konflik Asimetris

Banyak konflik modern melibatkan aktor non-negara seperti kelompok teroris, milisi bersenjata, atau pemberontak, yang sering kali tidak mematuhi HHI. Hal ini menyulitkan penerapan prinsip-prinsip hukum, terutama dalam konflik non-internasional.

2. Senjata dan Teknologi Baru

Penggunaan senjata canggih seperti drone, senjata siber, dan senjata otonom memunculkan tantangan baru karena tidak semua aspek penggunaannya diatur secara eksplisit dalam HHI.

3. Pelanggaran Sistematis

Dalam banyak kasus, pelanggaran HHI dilakukan secara sistematis oleh pihak-pihak yang berkonflik, termasuk serangan terhadap warga sipil dan fasilitas medis, yang sering kali tidak dihukum.

4. Kurangnya Penegakan Hukum

Mekanisme penegakan hukum untuk HHI, seperti ICC, sering kali terbatas oleh kendala politik, kurangnya yurisdiksi, atau ketidakmauan negara untuk bekerja sama.

5. Ketidakstabilan Politik

Ketidakstabilan di wilayah konflik, ditambah dengan kurangnya otoritas yang sah, menghambat penerapan HHI secara efektif.

6. Hambatan terhadap Bantuan Kemanusiaan

Banyak pihak yang berkonflik menghalangi akses bantuan kemanusiaan ke daerah yang terkena dampak, melanggar prinsip-prinsip dasar HHI.


Contoh Implementasi Hukum Humaniter Internasional

1. Konflik di Suriah

Konflik di Suriah adalah contoh nyata di mana HHI sering kali dilanggar. Serangan terhadap rumah sakit, penggunaan senjata kimia, dan pembunuhan warga sipil telah menjadi tantangan besar bagi penegakan HHI.

2. Krisis di Ukraina

Konflik antara Rusia dan Ukraina menunjukkan pentingnya HHI dalam melindungi warga sipil dan infrastruktur kritis, meskipun pelanggaran seperti serangan terhadap fasilitas non-militer tetap terjadi.

3. Konflik di Yaman

Perang saudara di Yaman menyoroti hambatan dalam memberikan bantuan kemanusiaan, dengan blokade dan serangan terhadap konvoi bantuan sebagai pelanggaran HHI.


Upaya untuk Mengatasi Tantangan HHI

1. Memperkuat Mekanisme Penegakan Hukum

Organisasi internasional perlu meningkatkan kapasitas mereka untuk menuntut pelanggar HHI, termasuk memperluas yurisdiksi ICC dan meningkatkan koordinasi antarnegara.

2. Menyesuaikan Hukum dengan Teknologi Baru

Pengembangan aturan baru untuk mengatur senjata dan teknologi modern, seperti perang siber dan drone, sangat diperlukan.

3. Edukasi dan Pelatihan

Meningkatkan kesadaran tentang HHI di antara pasukan militer, kelompok bersenjata, dan masyarakat sipil dapat membantu mencegah pelanggaran.

4. Meningkatkan Kerjasama Internasional

Negara-negara dan organisasi internasional harus bekerja sama untuk memastikan akses bantuan kemanusiaan dan memperkuat penghormatan terhadap HHI.

5. Mendukung Peran Organisasi Kemanusiaan

Memberikan perlindungan dan dukungan kepada organisasi seperti Palang Merah Internasional agar dapat menjalankan misi mereka dengan aman dan efektif.

Hukum Humaniter Internasional memiliki peran yang vital dalam melindungi korban konflik bersenjata dan mengatur perilaku pihak yang berkonflik. Namun, tantangan-tantangan seperti konflik asimetris, teknologi baru, dan pelanggaran sistematis memerlukan perhatian serius untuk memastikan efektivitas HHI. Dengan komitmen global, penguatan mekanisme penegakan hukum, dan adaptasi terhadap dinamika modern, HHI dapat terus menjadi alat yang kuat untuk mengurangi penderitaan manusia dan mempromosikan perdamaian di tengah konflik yang terus berubah. Di era modern ini, perlindungan terhadap martabat manusia tetap menjadi inti dari setiap upaya kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam prinsip-prinsip HHI.

Continue Reading

Hukum International

Hukum Laut Internasional Landasan Kedaulatan dan Kerjasama Global

Published

on

Hukum laut internasional merupakan salah satu cabang hukum yang mengatur hubungan antarnegara di lautan, termasuk hak dan kewajiban negara-negara dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut. Dengan semakin meningkatnya kepentingan global terhadap lautan, hukum laut internasional menjadi landasan penting bagi kedaulatan negara dan kerjasama global. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai prinsip-prinsip dasar hukum laut internasional, peran Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), serta tantangan dan peluang dalam kerjasama internasional di bidang ini.

1. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Laut Internasional

Hukum laut internasional berlandaskan pada beberapa prinsip dasar yang mengatur penggunaan laut dan sumber daya yang ada di dalamnya. Beberapa prinsip tersebut meliputi:

  • Kedaulatan Negara: Setiap negara memiliki hak untuk mengatur dan mengelola wilayah lautnya, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Kedaulatan ini mencakup hak untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut.
  • Hak Berdaulat: Selain kedaulatan, negara juga memiliki hak berdaulat yang memungkinkan mereka untuk melakukan kegiatan tertentu di laut, seperti penangkapan ikan, eksplorasi minyak, dan perlindungan lingkungan. Hak ini diatur dalam UNCLOS dan memberikan kerangka hukum bagi negara untuk beroperasi di laut.
  • Kebebasan Navigasi: Hukum laut internasional menjamin kebebasan navigasi di perairan internasional, yang merupakan hak semua negara untuk melintasi laut tanpa hambatan. Kebebasan ini penting untuk perdagangan global dan mobilitas internasional.
  • Perlindungan Lingkungan Laut: Hukum laut juga mengatur perlindungan lingkungan laut dari pencemaran dan kerusakan. Negara-negara diharapkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dan sumber daya alam.

2. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS)

UNCLOS, yang diadopsi pada tahun 1982, merupakan dokumen penting yang mengatur hukum laut internasional. Konvensi ini mencakup berbagai aspek, termasuk batasan wilayah laut, hak-hak negara di laut, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Beberapa poin penting dari UNCLOS meliputi:

  • Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): UNCLOS menetapkan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengklaim ZEE hingga 200 mil laut dari garis pantai mereka. Dalam zona ini, negara memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya laut.
  • Landas Kontinen: Negara juga memiliki hak atas landas kontinen, yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya, yang dapat meluas hingga 350 mil laut dari garis pantai. Hak ini memungkinkan negara untuk mengeksploitasi sumber daya mineral dan energi di dasar laut.
  • Penyelesaian Sengketa: UNCLOS menyediakan mekanisme untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul antara negara-negara terkait batasan wilayah laut dan hak-hak berdaulat. Ini termasuk pengadilan internasional dan arbitrase.

3. Kerjasama Global dalam Hukum Laut

Kerjasama internasional dalam hukum laut sangat penting untuk mengatasi tantangan yang dihadapi di lautan, seperti pencemaran, penangkapan ikan ilegal, dan perubahan iklim. Beberapa bentuk kerjasama global yang dapat dilakukan antara lain:

  • Perjanjian Multilateral: Negara-negara dapat menandatangani perjanjian multilateral untuk mengatur penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan. Contohnya adalah perjanjian tentang perlindungan spesies laut yang terancam punah dan pengelolaan perikanan.
  • Pertukaran Informasi dan Teknologi: Kerjasama dalam pertukaran informasi dan teknologi dapat membantu negara-negara dalam mengelola sumber daya laut secara efektif. Ini termasuk berbagi data tentang kondisi laut, teknik penangkapan ikan yang berkelanjutan, dan teknologi untuk mengurangi pencemaran.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan laut dan keberlanjutan sumber daya laut dapat mendorong partisipasi aktif dalam upaya konservasi. Program pendidikan dan kampanye kesadaran dapat dilakukan secara global untuk mencapai tujuan ini.

4. Tantangan dalam Hukum Laut Internasional

Meskipun hukum laut internasional memberikan kerangka kerja yang jelas, masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapi. Beberapa tantangan tersebut meliputi:

  • Sengketa Wilayah: Banyak negara masih terlibat dalam sengketa wilayah laut, terutama di daerah yang kaya akan sumber daya. Sengketa ini sering kali melibatkan klaim tumpang tindih atas ZEE dan landas kontinen.
  • Pencemaran Laut: Pencemaran laut akibat limbah industri, plastik, dan kegiatan manusia lainnya menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian global. Penegakan hukum yang lemah dan kurangnya kerjasama antarnegara sering kali menghambat upaya untuk mengatasi masalah ini.
  • Perubahan Iklim: Perubahan iklim berdampak pada ekosistem laut dan dapat mengubah batasan wilayah laut. Negara-negara perlu bekerja sama untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan melindungi sumber daya laut.

Continue Reading

Trending

Copyright © 2017 politikapolitika.com